Minggu, 20 Mei 2018

kodifikasi penulisan fiqh dan penulisan kitab fatwa pada era kemunduran

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan bersumber pada Al Qur’an sebagai al wahyu al matludan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat.
Generasi penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa’urrosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ sholihin hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih, bisa kita kualifikasikan secara periodik sesuai dengan kesepakatan para ulama. Yaitu ada empat, diantaranya : Pertama adalah masa kemunculan dan pembentukan dasar-dasar islam, perode ini mencakup masa Nabi SAW dan bisa juga disebut sebagai masa turunnya al Quran atau wahyu. Kedua adalah masa pembangunan dan penyempurnaan, pada periode ini mencakup masa sahabat dan tabi’in hingga pertengahan qurun ke empat hijriyah. Yang ke tiga adalah masa taqlid dan jumud, pada periode ini berkisar antara pertengahan abad ke empat hingga abad ke tiga belas hijriyah. Keempat adalah masa kebangkitan, periode ini berkisar dari abad tiga belas hingga sekarang.

Rumusan masalah

Bagaimana kodifikasi penulisan  fiqih?
Bagaimana penulisan kitab fatwa pada era kemunduran ?

BAB II
PEMBAHASAN
Kodifikasi Penulisan  Fiqih
Penulisan fiqh dikatakan sebagai periode telah selesainya pembentukan hukum islam yang berdasarkan ijtihad  secara mutlak. Maka berhentilah proses kreatif dalam pertumbuhan hukum islam, sampai muncul anggapan bahwa para pakar terdahulu itu terpelihara dari kesalahan. Ini berakibat seorang ahli hukum pada masa ini, tidak dapat lagi  menetapkan atau mengeluarkan keputusan hukum.
Pada periode ini, selain dilakukan penulisan kitab kitab fiqih, juga dilakukan kitab himpunan kaiadah fiqih. Diantara kitab kitab yang ditulis di zaman ini adalah qawait fiqqiyah yang membahas tentang kaidah-kaidah fiqih ilsam. Kitab ini perlu diketahui oleh seorang fukaha yang ingin menginstimbathkan suatu hukum. Dengan ilmu ini, seorang fukaha akan dapat menjawab persoalan persoalan yang baru. Kitab kitab yang menghimpun kaidah kaidah fiqih berdasarkan mazhab, dapat dikemukakan berikut :
Mazhab hanafi
Ushul imam abi al-hasan, karya al-khurkhi (wafat 340 H)
Ta’sis An-Nazhar, karya ad-dabusi (wafat 430 H)
Al asybah wa an-nazhair, karya ibnu nujaim (wafat 970 H)
Mazhab maliki
Anwar al-buruq fi anwa’i al-furuq, karya al-qarafi (wafat 682 H)
Al-qawaid fi fiqh al-malikiyah, karya at-tilmisani (wafat 876 H)
Al-qawaid fi fiqh al-malikiyah, karya al-mukri

Mazhab syafi’i
Al-qawaid al-kubra, karya al-izz bin abdissalam yang mencoba mengembalikan semua hukum syariat menjadi satu kaidah besar yaitu : ‘ menolak mudharat dan mengambil manfaat
Al-asybah wa an-nazhair karya imam as-sayuthi (wafat 911 H)
Mazhab hambali
Al – qawaid al-kubra dan al-qawaid al-sugra karya imam sulaiman at-thufi al-hanbali (wafat 710 H)
Al-qawaid an-nuraniyyah al-fiqhiyah, karya imam ibnu taymiyah (wafat 728 H)
Al-qawaid, karya imam ibnu rajab al-hanbali (wafat 795 H)
Al-qawaid wa al-fawaid al-ushuliyah, karya imam inu lahham al-hanbali (wafat 803 H).
Pada periode kemunduran ini, bila fiqh mengalami stagnasi, maka ushul fiqh tidak demikian. Abu Zahrah menjelaskan dalam bukunya ushul fiqh sebagai berikut:
“setelah banyak orang menutup ijtihad secara mutlak, dan melakukan ijtihad bagi ushul fiqh. Malah memacunya terus melaju ke depan. Terdapat pakar-pakar yang memiliki kemampuan  yang luar biasa, yang meneliti, membahas, mengkaji secara mendalam ilmu ushul fiqh ini secara per bab, tidak mengurangi nilainya sedikitpun, bahkan menjadi penimbang ketika terjadi perselisihan.
Ini dapat dibuktikan dengan munculnya tidak kurang dari 25 kitab penting tentang usul fiqh. Hanya saja metode penulisannya kurang sempurna, karna tidak mementingkan penyebutan nama-nama pengarang dan judul kitab-kitabnya. Para imam mazhab, selain imam syafi’i belum menuls dasar -dasar dan kaidah kaidah fiqhyah bisa menjadi rujukan pengambilan atau penyimpulan hukum mazhab mereka. Metodologi fiqh itu baru dirumuskan oleh murid muridnya atau generasi sesudahnya. Imam syafi’i adalah orang yang pertama memperkasai penulisan ilmu usul fiqh dalam bukunya ar risalah, dan trus berkembang sejalan dengan perkembangan itihad para fuqaha berikutnya, termasuk juga para pengikut mazhab-mazhab lainnya, mengembangkan kerangka ushul fiqh itu lebih lanjut. Ada dua kecenderungan yang lebih dominan saat itu:
Pertama, kecenderungan pengembangan,(memerinci yang global dan lain lain).
Kedua, kecenderungan pengkajian ulang (menolak bagian tertentu dan menambahkannya dengan yang lain).
Yang dimaksud dengan kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomer. Dan jika ada masalah maka setiap masalah akan dirujuk kepada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi kata putus dalam menyelesaikan perselisihan.
Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
Menyatukan hukum islam dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim memberi keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi undang-undang tertentu, dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqh dengan susunan yang sistematik, ada bab bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.
Permulaan kodifikasi
Upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang undang bukan sesuatu yang baru terjadi pada zaman ini. Upaya tersebut sudah muncul sejak awal abad ke-2 hijriyah ketika ibnu muqaffah menulis surat kepada khalifah abu ja’far al mansur agar undang-undang civil negara diambil dari al-qur’an dan sunnah. Dan ketika tidak ada nas maka cukup dengan ijtihad sndiri sesuai dengan kemaslahatan umat. Ketika beliau melihat banyak terjadi perbedaan pendapat dalam satu masalah ia berkata, diantara perkara yang harus diperhatika oleh amirul mukminin dari urusan 2 orang mesir dan yang lainnya dari setiap kota dan pelosok wilayah adalah terjadinya perseliaihan pendapat yang sudah memuncak, jika saja amirul mukminin dapat memerintahkan agar semua perbedaan ini bisa dihilangkan, memberi apa yang menjadi hajat setiap kaum dari sunnah dan qiyaas dengan cara menulis sebuah kompilasi undang-undang. Hal tersebut bertujuan menyatukan semua pendapat yang bisa salah atau benar dengan satu pendapat yang pasti dan benar.
Usulan ibnu muqaffa ini tidak mendapat sambutan pada saat itu karena para fuqaha enggan untuk memikul beban taklid, sedangkan mereka sendiri sudah memberikan peringatan kepada murid murid mereka agar menjauhi fanatisme mazhab.
Mereka merasa cemas dan masih ragu ragu jika saja ijtihad ini salah karean yang mereka lakukan bukan membuat sebuah produk undang-undang buatan manusia, namun mereka sedang berhadapan dengan syariat yang nurun dari langit. Usaha yang sama juga pernah dilakukan oleh imam malik ketika ia melaksanakan haji pada tahun 148 H dan diminta untuk menyeru masyarakat mengamalkan mazhabnya. Akan tetapi, imam tidak mau dan berkata, wahai amirul mukminin, setiap kaum ada pendahulu dan imamnya sediri maka barang siapa yang melihat keputusan para pendahulunya sesuai dengan kedaannya, maka hendaklah ia melaksanakan hal itu.
Sang khalifah memahami apa yang disampikan oleh imam malik, atau hanya berpura pura setuju, namun ia menawarkannya kembali pada tahun 163 H. Akan tetapi, sang iamam tetap tidak mau menyeru umat untuk mengikuti mazhabnya dan tetap pada pendiriannya.
Dan pada abad ke-11 H, sultan muhammad alimgher (1038-1118  M). Seorang raja india membentuk sebuah lembaga yang terdiri dari ulama-ulama kondang di india dibawah pimpinan syaikh nizham untuk menulis sebuah buku yang dikenal dengan nama al-fatawa al hindiyah.
Meskipun demikian, upaya ini belum secara resmi dan bersifat mengikat bagi semua muftia atau hakim sebagaimana corak penulisan dan pembuatan bab belum seperti sebuah mataeri undang undang dan hanya brsifat himpunan pendapat fiqh yang masih diperdebatkan, kemudian lembaga ini, memilih salah satunya.
Semua upaya dan usaha baik ini belum bisa dikatakan sebuah bentuk kodifikasi fiqh islam dengan makna yang sempurna seprti yang sudah dijelskan sebelumnya.

Titik tolak kodifikasi (majallah al-ahkam a-adliyyah)
Upaya dan pemikiran untuk melahirkan sebuah kodifikasi terhadap fiqh islam betul betul dapat terwujud diturki ketika muncul majjalah al-ahkam al-adliyyah(semacam kitab undang-undang hukum perdata) pada masa dinasti usmaniyyah yang berangkat dari keinginan imperium ini untuk mengacukan seluru undang-undang sipil yang berlaku bagi umat islam dibawah pemerintahannya pada mazhab imam abu hanifah sebagai mazhab resmi negara. Kitab kodifikasi hukum islam ini disusun oleh para fuqaha kondangan dibawah pimpinan ahmad jaudad basya, direktur diwan al-ahkam al-adliyyah. Lembaga ini mluai bekerja pada tahun 1286 H dan terus bekerja sampai tahun 1292 H. Setelah bekerja selama 7 tahun maka lahirnya sebuat karya agung yang diberi nama majjalah al-ahkam al-adliyyah( yang kemudian terkenal dengan istilah al majjalah atau majelle).
Pada bulan sya’ban 1292H, sultan mengeluarkan surat perintah untuk menerapkan isi kompilasi ini dalam semua pengadilan turkey dan semua negara yang berada dibawah kekuasaan dinasti turki usmaniyah.


Kandungan al-majjalah al al-ahkam al-adliyyah
Kitab kompilasi hukum islam turkey usmaniyyah ini, memuat 1815 pasal yang membahas berbagai hukum terhadap berbagai permasalahannya yang masih diperbdebatkan dalam membangun hubungan sosial islam yang terdiri dari 16 bab, dimulai dari bab jual beli an brakhir dengan bab tuntutan dan keputusan hakim.
Adapun yang menjadi catatan dari kompilasi ini adalah tidak ada konsistensi untuk berpegang kepada pendapat yang rajih dan kuat. Dalam mazhab Hanafi dan terkadang mengambil pendapat yang marjuh (dikuatkan) untuk memeberi kemudahan kepada masyarakat dan demi kemaslahatan bersama dan diantara kekurangannya yang tidak mmbahas tentang al ahwal asy syakhsiyah.

Penulisan kitab fatwa pada era kemunduran
Seiring dengan semaraknya buku-buku fiqih dan ushul, penulisan fatwa-fatwa juga mendapat perhatian dari para ulama yang nantinya dapat membantu para generasi yang akan datang untuk menyelami kedalaman lautan fiqih islam. Sumbangan itu berupa himpunan fatwa. Fatwa-fatwa dimaksud disini adalah himpunan fatwa-fatwa oleh ulama dizamannya, yaitu ulama-ulama yang telah mendapat derajat mujtahid lalu diberi kedudukan sebagai mufti secara resmi, kemudian pendapat ditulis dalam buku yang disusun berdasarkan bab bab fiqih. Diantaranya :
Kitab Al-Fatawa AL-hindiyah yang dikenal nama fatwa malakiyah yang ditulis oleh beberapa ulama asal hindia atas perintah sultan bahadir, seorang ulama besar;
Kitab fatwa yang sangat berpengaruh adalah al fatawa al taimiyyah (wafat 728 H), yang dicetak beberapa kali. Cetakan terakhir dan paling komrehensif diterbitkan di saudi arabia dalam 37 jilid, ;
kitab fatwa besar lain seperti al-hawi li al-fatawi karyaal-suyuthi (wafat 911 H);
kitab al fatawa al-bazzaziyah yang ditulis oleh muhammad bin muhammad shihabuddin yang dikenal dengan nama al-bazzaz al-kurdi al-hanafi (wafat 827 H); kitab fatawa karya syeikh al-islam zakaria al –anshori as-syafi’i (wafat tahun 926 H), al-fatawa karya ibnu hajar al-haitami (wafat 974 H).

BAB III
KESIMPULAN
Pada periode ini, selain dilakukan penulisan kitab kitab fiqih, juga dilakukan kitab himpunan kaidah fiqih. Diantara kitab kitab yang ditulis di zaman ini adalah qawait fiqqiyah yang membahas tentang kaidah-kaidah fiqih ilsam. Kitab ini perlu diketahui oleh seorang fukaha yang ingin menginstimbathkan suatu hukum. Dengan ilmu ini, seorang fukaha akan dapat menjawab persoalan persoalan yang baru.
Seiring dengan semaraknya buku-buku fiqih dan ushul, penulisan fatwa-fatwa juga mendapat perhatian dari para ulama yang nantinya dapat membantu para generasi yang akan datang untuk menyelami kedalaman lautan fiqih islam. Sumbangan itu berupa himpunan fatwa. Fatwa-fatwa dimaksud disini adalah himpunan fatwa-fatwa oleh ulama dizamannya, yaitu ulama-ulama yang telah mendapat derajat mujtahid lalu diberi kedudukan sebagai mufti secara resmi, kemudian pendapat ditulis dalam buku yang disusun berdasarkan bab bab fiqih.

Daftar Pustaka
Tarmidzi, Tarikh Tasrik (Sejarah Legislasi Hukum Islam), Yogyakarta: Idea Press, 2013.

Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri’ Jakarta:Amzah 2009.

http://hanafiyesss.blogspot.co.id/2012/10/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqh.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengertian ekonomi islam

Berikut ini 10 Pengertian ekonomi islam menurut para ahli antara lain: merupakan ekonomi yang berdasarkan pada ketuhanan. Esensi sistem e...