Minggu, 20 Mei 2018

Penjelasan pasal KHES pasal 116-121 tentang murabahah

PENJELASAN PASAL 116-121 MURABAHAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas  Mata kuliah : Fiqh Muamalah  Dosen pengampu : Imam Mustofa


 Disusun oleh :
WIDIYA KUSUMANINGRUM  (1602090062)







Kelas A
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO  2018

PENDAHULUAN
Sebagai suatu entitas ekonomi disamping entitas politik, tanpa memandang latar belakang tradisi politik dan budaya, Negara merupakan unite ekonomi sangat berkepentingan dalam menentukan perencanaan dan kebijakan mengenai bagaimana sumber daya yang terbatas harus dialokasikan serta bagaimana hasil akhir dari suatu proses (produksi), baik sentral riil maupun non riil didistribusikan dengan aman diantara anggota-anggota masyarakat.
Pengamatan emperis tentang realitas yang didasarkan atas sistematik teori-teori ekonomi islam, memperlihatkan adanya dua ciri utama. Pertama, adanya kecenderungan yang kuat untuk bertolak dari matriks budaya, melalui pendekatan aksiologis untuk membentuk masyarakat ekonomi, melainkan juga membudayakan perekonomian. Kedua, adanya usaha-usaha yang sungguhsungguh untuk mengembangkan model-model matematika dan ekonometrik dari tingkah laku manusia yang telah dipengaruhi nilai-nilai islam2 termasuk munculnya produk perbankan islam Salah satunya adanya perjanjian murabahah yang sering atau yang mudah digunakan oleh orang karena bersifat islami. Perbankan Islami kini sudah tidak asing lagi, khususnya bagi kalangan pembisnis, lembaga tersebut dapat sebagai alternative jika mereka terbentur kebutuhan mendesak yang menghambat proyek mereka sehingga para pembisnis mengalihkan perhatianya dari rumitnya prosedur perbankan konvesional ke perbankan yang berbasis islami. Dan saat ini kondisi perbankan belum sepenuhnya memenuhi harapan. Kasus-kasus perbankan yang terjadi dewasa ini baik langsung maupun tidak langsung telah membawa akibatbagi perkembangan perekonomian nasional, antara lain berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan. Disinilah perbankan islam dapat berkiprah dalam rangka keikutsertaannya memajukan perekonomian nasional dalam rangka memasuki pasar global, karena system perbankan islami yang universal dan komprehensif.
 BAI’ MURABAHAH
Pasal 116
“Penjual harus membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati spesifikasinya.”
Maksudnya:
Murabahah terlaksana antara penjual dan pembeli berdasarkan harga barang, harga asli pembelian penjual yang diketahui oleh pembeli dan keuntungan yang diambil oleh penjual pun diberitahukan kepada pembeli, sedangkan musawwamah adalah transaksi yang terlaksana antara penjual dan pembeli dengan suatu harga tanpa melihat harga asli barang.
Ibnu Qudama mengatakan bahwa murabahah merupakan jual beli dengan mengambil keuntungan tertentu yang diketahui pihak penjual dan pembeli. Masing-masing pihak harus mengetahui modal atau harga awal dari barang tersebut. Penjual harus memberikan barang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh nasabah yang membutuhkan pembiayaan kemudian menjualnya ke nasabah tesebut dengan penambahan keuntungan tetap. Dalam KHES pasal 20 ayat 6 mendefinisikan murabahah: Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau langsung.
“Penjual harus membeli barang yang diperlukan pembeli atas nama penjual sendiri, dan pembelian ini harus bebas riba”.
Maksudnya :
Harus selalu diingat bahwa pada mulanya murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan, melainkan hanya alat untuk menghindar dari bunga atau riba dan bukan merupakan instrumen ideal untuk mengemban tujuan riil ekonomi islam. Instrumen ini hanya digunakan sebagai langkah transisi yang diambil dalam proses islamisasi ekonomi, dan penggunaannya hanya terbatas pada kasus-kasus ketika mudharabah dan musyarakah tidak atau belum dapat diterapkan.
Jika pembeli membeli barang itu harus atas nama sendiri, bukan atas nama orang lain, dan pembeli itu harus bebas riba. Jadi, riba maksudnya disini adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam riba hukumnya adalah haram. Dalam sabda rasulullah saw:”Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu-pintu yang paling ringan adalah seperti seseorang menikahi ibu kandungnya”. (H.R Al Hakim dan ia menshahihkannya).
“Penjual harus memberi tahu secara jujur tentang harga pokok barang kepada pembeli berikut biaya yang diperlukan”.
Maksudnya :
Keuntungan atau laba harus diketahui masing-masing pihak yang bertransaksi, baik penjual maupun pembeli, apabila keuntungan tidak diketahui oleh pembeli,maka tidak dapat dikatakan sebagai jual beli murabahah. Karena dalam syarat murabahah yang terkait dengan akad maka harus ada keterbukaan antara si penjual yang terkait dengan harga pokok barang.
Pasal 117
“Pembeli harus membayar harga barang yang telah di sepakati dalam murabahah pada waktu yang telah disepakati”.
Maksudnya :
Karena dalam definisi pasal 117 menyebutkan “Keuntungan yang disepakati”, karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut. Misalnya si Fulan membeli unta 30 Dinar, biaya-biaya yang dikeluarkan 5 dinar, maka ketika menawarkan untanya, ia mengatakan:”saya jual unta ini 50 dinar, saya mengambil keuntungan 15 dinar”. Dalam Fatwa DSN No.16/DSN-MUI/IX/2003 tanggal 16 september 2000 dijelaskan bahwa harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai kesepakatan.Jadi disini ditetapkan bahwa persetujuan antara kedua belah pihak adalah hal yang paling utama, dikarenakan murabahah menanut sistem adil antara penjual dan pembeli adanya kata kesepakatan maka dalam hal ini menekankan keseimbangan dalam proses negoisasi.
Pasal 118
“Pihak penjual dalam murabahah dapat mengadakan perjanjian khusus dengan pembeli untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan akad”.
Penjelasannya dua pihak yang membuat perjanjian khusus di antara penjual dan pembeli, dimana pihak pertama mengajukan permohonan kepada pihak kedua untuk membelikan suatu barang, kemudian pihak pertama akan membeli barang tersebut dengan memberikan sejumlah keuntungan, baik secara presentase maupun dengan cara perhitungan yang lain. Perjanjian ini dibuat sebelum barang dibeli dan mengikat kedua belah pihak, sehingga ada konsekuensi hukum yang akan ditanggung bagi pihak yang melakukan wanprestasi.
Pasal 119
“Jika penjual hendak mewakilkan kepada pembeli untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual-beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip sudah menjadi milik penjual”.
Fatwa  Dewan  Syariah   Nasional:
04/DSN-MUI/IV/2000   tentang  Murabahah  menyatakan   sebagai berikut:
Jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari  pihak  ketiga, akad jual  beli  murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank Dari fatwa ini  jelas bahwa bank syariah tidak  diperkenankan  untuk melakukan akad murabahah kalau barangnya tidak ada, karena timbul gharar (ketidak  jelasan  barang yang  diperjualbelkan).  Hal ini  jelas haditsnya   yang   mengatakan  tidak   diperkenankan   untuk  menjual burung yang masih terbang, menjual ikan dalam lautan dan menjual akan binatang dalam kandungan. Saat bank syariah menyerahkan uang sebagai wakil bank syariah, maka akad yang dipergunakan adalah akad wakalah. Setelah barang ada, baru dilakukan akad murabahah. Untuk memberikan ilustrasi  murabahah yang  diwakilkan  kepada nasabah, diberikan contoh sebagai berikut:
Bank Syariah melakukan  transaksi  murabahah dengan Amir atas Mobil  Inova  dengan harga mobil  Rp.  120.000.000,--. Keuntungan disepakati  sebesar Rp.25.200.000.-  Pembayaran dilakukan  secara tangguh selama  satu tahun.  Bank Syariah menyerahkan  uang ke Amir  sebesar Rp. 120.000.000,--  sbg wakil Bank Syariah untuk membeli mobil Inova untuknya yang menerima  kuasa (sebagai wakil bank) menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan.
Atas amanah yang diberikan oleh Bank Syariah, Amir/nasabah melakukan pembelian  atau pengadaan barang sesuai yang diwakillan, dan kemudian diserahkan kepada Bank Syariah. Dengan penyerahan barang yang diwakilkan tersebut kewajiban nasabah selesai dan hutang nasabah diperhitungkan,  jika terdapat sisa dikembalikan  nasabah kepada bank syariah, sebaliknya jika kurang bank syariah harus menambah atau mengembalikan kekurangannya kepada nasabah.
Setelah  Barang dalam  penguasaan Bank Syariah,  maka akad murabahah dapat dilaksanakan sesuai ketentuan dan syariah yang telah   diuraikan   sebelumnya.   Dengan  disetujui   transaksi   ini dengan akad Murabahah, maka hutang nasabah kepada bank syariah sebesar harga jual yaitu sebesar Rp. 145.200.000.
Pasal 120
“Jika penjual menerima permintaan pembeli akan suatu barang atau aset, penjual harus membeli terlebih dulu aset yang dipesan tersebut dan pembeli harus menyempurnakan jual beli yang sah dengan penjual”.
Maksudnya :
Murabahah dengan permintaan pembeli maksudnya adalah ada dua pihak dimana pihak pertama mengajukan prmohonan atau permintaan kepada pihak kedua untuk membelikan suatu barang, kemudian pihak pertama akan memberikan keuntungan. Misalnya Andi sedang membutuhkan sebuah laptop dengan spesifikasi tertentu seharga Rp.5.000.000, namun ia belum mempunyai cukup uang untuk membelinya terlebih dahulu, kemudian Andi memberikan keuntungan Rp.500.000. pembayaran yang dilakukan Andi kepada Ali bisa dengan cara langsung atau dengan cara mengangsur. Jual beli murabahah semacam ini sangat umu terjadi di lembaga keuangan Syariah dan masyarakat.Jadi pembeli disini berperan sebagai pihak konsumen, dengan demikian pembeli memberikan amanah kepada penjual untuk bisa mendapatkan barang atau aset dengan spesifikasi yang telah diutarakan oleh pembeli. Transaksi ini akan terjadi jika penjual menyanggupi apa yang diinginkan oleh pembeli, dan pembeli harus memberikan uang muka atau DP kepada penjual. Dan dengan berjalannya waktu disini penjual memiliki kewajiban untuk memberikan barang atau aset yang sesuai dengan harapan. Kesempurnaan transaksi akan berakhir dengan baik jika penjual dan pembeli sama-sama telah menyempurnakan kewajiban terhadap satu sama lain.
Pasal 121
“Boleh meminta pembeli untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan dalam jual-beli murabahah”.
Maksudnya :
Uang muka atau urbun atas pembelian barang yang dilakukan olh nasabah (bila ada), akan mengurangi jumlah piutang murabahah yang akan diangsur oleh nasabah. Jika transaksi dilaksanakan, maka urbun diakui sebagai bagian dari pelunasan piutang murabahah sehingga akan mengurangi jumlah piutang murabahah. Jika transaksi murabahah tidakjadi dilaksanakan (batal), maka urbun atau uang muka harus dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkan oleh bank syariah.
Uang Muka murabahah adalah jumlah yang dibayar oleh pembeli (nasabah) kepada penjual (bank syariah) sebagai bukti komitmen untuk membeli barang dari penjual.
Ketentuan Uang Muka Murabahah:
Dalam akad pembiayaan murabahah, Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat.
Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.
Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut.
Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah.
Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengertian ekonomi islam

Berikut ini 10 Pengertian ekonomi islam menurut para ahli antara lain: merupakan ekonomi yang berdasarkan pada ketuhanan. Esensi sistem e...